Pages

Education

Featured Posts Coolbthemes

Kamis, 10 Maret 2011

MOHAWK BUKANLAH SEBUAH PRESTISE

Bermula dari rasa gusar yang mampir di otak setelah terlibat percakapan singkat secara tidak langsung dengan anak punk yang berasal dari Jakarta. Dia biasa hidup di jalanan di beberapa kota di Indonesia, hingga kali ini dia bertandang ke Surabaya. Sudah tiga bulan ini dia hidup di Surabaya -Kota terbesar kedua di Indonesaia-, sebelumnya dia merantau ke Kaltim dan menetap agak lama juga di Malang bersama temanya. Terlihat seperti punker pada umumnya, dengan baju hitam yang terlihat kumal, celana pensil warna hitam, sepatu boot, percing dan tindik di beberapa bagian tubuh, serta yang tidak kalah pentingnya adalah kreasi jarum dan tinta di kulit berwarna –ambil sedikit kutipan dari liriknya SID, ga masalah kan..???- a.k.a Tato yang mulai pudar warnanya tergores debu jaman. Bagi orang awam ini mungkin agak mengerikan untuk dilihat, tapi fashion itu berbeda terbalik dengan pandangan orang tersebut jika sudah mengetahui beberapa perilaku yang ditampilkan secara tersembunyi. Bukan maksud membanggakan secara berlebihan tentang anak punk, tapi ada dari beberapa punkers yang mempunyai tabiat yang tidak pantas untuk ditiru (hehehe…. nulisnya masih pake akal sehat rupanya!!!) karena berbagai alasan, kalau untuk penilaian yang satu ini terserah bagaimana baiknya anda menyikapi. Itulah sekilas tentang sosok anak Punk Jalanan (bukan sekedar lagu akustik yang dirubah jadi dangdut koplo jingkrak) yang masih melekat secara identik di jaman yang terus maju mengikuti pasar.
Aku terdorong untuk menulis ini karena ada sebuah cerita yang mengganggu tentang pemahaman utuh dari sebuah ideologi punk. Suatu ketika dia (anak punk yang aku ceritakan di atas tadi) terjaring razia oleh oknum preman yang direkrut oleh kepolisian pamong praja –ini menurut pengakuannya lho…- untuk “membersihkan” kota Surabaya tercinta ini dari apa yang mereka sebut sebagai “sampah masyarakat” . Preman tersebut membawa secara paksa kedua punker yang sedang asik ngobrol di Taman Punk Surabaya atau yang biasa disebut Taman PS. Singkat cerita mereka di bawa dan di taruh di Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos), Keputih. Maksud hati untuk dibina, malah disana dia bercerita tentang aparat yang menganggapnya “gila” karena jiwa pemberontaknya muncul setelah ada niat aparat yang memberikan wewenang kepada preman itu untuk mencukur habis rambut mohawknya tersebut –jadi semakin tegang nih….-. Perlakuan kasar pun terpaksa dilakukan demi memangkas habis gaya rambut yang dianggap meresahkan warga tersebut. Apa daya kata dan jiwa pemberontaknya hanya dianggap sebagai ocehan tak berisi, aparat tidak menerima juga alasan dari dia yang menampilkan gaya tersebut hanya sebagai tampilan kreasi dan penunjukkan jati diri. Akhirnya dengan terpaksa dia menerima bentuk baru rambutnya yang agak pelontos tersebut -yang sabar ya bro…!!! skinhead gitu,..-.
Dia juga menceritakan bagaimana kehidupan selama beberapa hari di Liponsos keputih, ada suatu saat dia diberi obat penenag yang lazim digunakan untuk orang gila dengan maksud memberi ketenangan secara emosi, alias “gilanya” gak kumat lagi. Entah kenapa penjaga di situ memberinya obat semacam itu, mungkin karena rancuannya yang udah melampaui batas bagi tingkat kewajaran manusia normal –waduh itu pemberontak kok disamakan sama orang gila ya..???-. Dia juga berpendapat bahwa “disana (liponsos), orang yang sembuh bisa jadi gila dan orang yang gila masuk sana bisa jadi sembuh dan bebas untuk keluar”. Terlihat konyol pernyatannya tersebut, tapi itulah wajah asli yang nampak dari pemikirannya. Akhir cerita dia dan juga temannya tersebut keluar setelah hari ketiga karena mendapat jaminan dari temannya yang ada di luar sana, tentu dengan tatanan rambutnya yang plontos serta tindik dan percing yang tak luput dilepas oleh aparat dari tubuhnya. Menampilkan sosok baru punker yang “lebih ramah” bagi sebagian orang –Damn..!!! mereka merenggut kebanggaanku (mungkin itu yang ada di kata hatinya)-.
Setelah keluar dia bisa berkumpul lagi dengan punkers lainnya dari sekitar kota Surabaya, khususnya daerah gubeng. Memulai aktivitas secara normal, hidup di jalan dan mencari uang dengan ngamen di perempatan, tentu harus waspada dengan ancaman razia yang dilakukan oleh Pol PP sewaktu-waktu. Mungkin dalam hatinya meggerutu tak karuan, tapi dia tetap tegar dan bahagia dalam menjalani setiap hari-harinya. Itu semua merupakan lanskap kehidupan kaum minoritas yang luput dari perhatian masyarakat. Banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari cerita tersebut, tentang bagaimana seorang punker yang tetap bisa bertahan hidup dan yang terpenting tidak merubah image punk kepada setiap mata sinis orang yang memandang.
Terbukti tanpa rambut mohawk dia bisa hidup secara normal lagi dan yang terpenting tak lama-lama harus memikirkan berapa lama lagi bisa membentuk rambut mohawnya seperti dulu lagi. Setelah melihat bagaimana susahnya dia mencari uang dan bergaul dengan sekitarnya –waktu itu aku tak sengaja ikut di dalamnya-, semakin menambah keyakinanku kalau mohawk bukanlah kebanggaan yang harus diutamakan oleh punker, melainkan bagaimana menjalankan kehidupanya agar sesuai dengan kaidah berontak yang masih berada di jalur ideologi punk. Mohawk bukanlah segala-galanya, toh.. dia masih bisa tersenyum dengan sesama seakan sudah melupakan kejadian sebelumya. Jadi memberontak akan masa lalu dan berpikir kedepan harus dijadikan prioritas agar tak menjadi seperti kelinci yang tersalip kura-kura di akhir pertandingan.
Prestise (kebanggaan) seseorang berbeda-beda, juga para punker, salah satunya mohawk yang dijadikan penunjuk jati diri fisik kalau dirinya adalah anak punk. Banyak kita jumpai di jalanan mereka sebagai anak “punk” tanpa mohawk yang berjalan menyusuri kerasnya kehidupan, bahkan sebagian kecil dari mereka menggunakan model rambut gimbal ala rasta. Itulah sebagian kecil masalah fashion yang bukan sekedar gaya atau unjuk diri agar dianggap berstrata di atas preman. Mohawk merupakan gaya rambut menjulang ke langit yang sudah turun-temurun diwariskan oleh para pendahulu punker dengan mencerminkan penghormatan terhadap suku Indian yang hidupnya terinjak dan tertindas oleh kekuasaan pendatang Inggris kapitalis yang “menjajah” wilayah Amerika, khususnya Amerika Serikat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar