Pages

Education

Featured Posts Coolbthemes

Senin, 04 Juli 2011

Visualisasi Horor Mengenai Sempitnya Paradoks

Sekitar dua dekade kemudian, setelah semua supportive system bagi band underground ini tersedia (internet, label musik independen, dan lain-lain) muncul masalah baru yang muncul justru dari dalam kultur underground itu sendiri: tentang independensi diri. Di dalam budaya underground yang mengagungkan independensi ini, kemunculan support system tadi dimaknai sebagai sebuah gangguan ideologis bagi beberapa kalangan.

Hal yang kurang lebih sama juga terjadi di kultur musik underground Indonesia. Bagi saya pribadi, membahas tentang bagaimana model independensi yang paling ideal dalam kultur underground tidaklah terlalu penting. Masih banyak hal yang lebih penting untuk dipikirkan dan dikerjakan untuk bersama-sama membangun diri dan membangun lingkungan seni ini agar bisa terus berkembang.

Dalam tulisan yang mendasarkan diri pada definisi independen pada kamus Merriam-Webster, Saya membahas tentang bagaimana band “indie” sekarang sudah tak lagi bisa dimaknai sebagai band independen karena  band tersebut telah “terikat/dependen” kepada beberapa faktor, salah satunya kepada label musik independen lokal. Ini kutipannya:
Karena itu, makna kata swadaya ini menjadi pudar, samar, transparan; ada, namun sudah tidak ajeg layaknya dulu. Kemunculan Fast Forward, Demajors, maupun Aksara (Inalillahi wa inalillahi roji'un) tidak menciptakan sebuah dobrakan baru. Bukan mereka tidak diperlukan. Kehadiran  mereka memberikan variasi yang lebih luas dalam blantika musik Indonesia. Tetapi, justru label seperti inilah yang membantu semakin kuatnya penyebaran miskonsepsi musik swadaya.”
Jalur alternatif untuk menghidari kegalauan identitas ini adalah dengan tetap berkarya dan hidup dari karya tersebut. Konsekuensinya tentu adalah idealisme swadaya/indie hilang terkikis atas nama pasar, popularitas, dan pangan.”

Idealisme yang nyata (setidaknya bagi saya) adalah idealisme yang tidak anti dengan popularitas atau bahkan dengan kapitalisme. Idealisme yang nyata adalah idealisme yang mampu mengakali dan memanfaatkan popularitas dan atau kapitalisme (yang sudah terlanjur mengakar ini) sebagai alat untuk menyampaikan pesan atau kritik sosial yang ada di kepala. Supaya kita tak lagi hanya menjadi konsumen bodoh dari marketing whiz itu.
Jika kasusnya adalah tentang menjadi musisi, sebenarnya kita bisa bermain-main atau memanfaatkan support system yang ada di sekitar kita. Semisal dengan memanfaatkan internet dengan maksimal (termasuk dengan memanfaatkan Myspace.com yang dimiliki oleh salah satu ikon kapitalisme: Rupert Murdoch), atau dengan mendistribusikan album lewat label besar (seperti yang dilakukan Koil lewat Nagaswara) demi dapat memperdengarkan musik (beserta ideologi di dalamnya) kepada masyarakat luas yang telanjur diberi sarapan musik basi setiap pagi hari.
Siapa tahu dengan begitu nantinya, masyarakat umum akan mampu mencerna musik dan pesan di lagu dari band semacam ERK, Koil, Seringai seperti yang kaum indie-hispter lakukan dan banggakan. Layaknya yang terjadi dengan album Nevermind dari Nirvana yang diedarkan secara massal:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar