Pages

Education

Featured Posts Coolbthemes

Rabu, 17 Agustus 2011

THE TRUTH IS OUT THERE

Tiga tahun mengajar ilmu sosial di tingkat dasar, lanjutan pertama, hingga lanjutan atas pertanyaan yang selalu tertuju kepada saya dari murid-murid adalah : “apakah ilmu sosial itu dan mengapa saya harus belajar ilmu sosial?” Saya dibuat terdiam, speechless, dan tak bisa menjawab pertanyaan itu di awal-awal masa mengajar saya. Saya rasa, mungkin saya sendiri belum tahu apa sebenarnya ilmu sosial dan mengapa saya mempelajarinya. Itulah pekerjaan rumah pertama saya ketika pertama kali mengajar secara profesional. Pekerjaan rumah yang lama sekali saya kerjakan, hingga kini dari jawaban utuh yang saya bayangkan, mungkin hanya potongan kecil yang sudah berhasil saya rangkaikan.

Saya masih juga belum bisa menjawab pertanyaan mengapa murid-murid saya harus belajar ilmu sosial selain jawaban klasik : “karena manusia, selain mahluk yang bersifat hablum minallah, juga bersifat hablum minannas, mahluk sosial yang diciptakan Allah SWT untuk selalu membutuhkan orang-orang yang lain. Bentuk hubungan itulah yang akan kita pelajari dalam ilmu sosial….” Namun, dalam rentang waktu tiga tahun saya perlahan belajar dari kawan-kawan sesama pengajar, juga dari murid-murid saya. Ada beberapa hal penting yang bisa dilakukan untuk membuat murid-murid saya, begitu mencintai pelajaran ilmu sosial.
Beberapa hal penting tersebut adalah memberikan pemahaman materi pengajaran yang aplikatif dalam kehidupan sehari-hari sesuai kurikulum yang ditetapkan, membuka jaringan dengan komunitas-komunitas budaya, lingkung-lingkung seni, ruang-ruang inisiatif, dan media massa untuk membuka wawasan bergaul yang kreatif bagi siswa, melatih keahlian siswa, terutama di bidang teknologi, serta membangun keberanian berpendapat dan keahlian menulis melalui praktek pembuatan media ekspresi siswa.
Pemahaman materi pengajaran yang aplikatif dalam kehidupan sehari-hari sesuai kurikulum mutlak diperlukan. Ini adalah salah satu upaya awal mendekatkan siswa dengan lingkungan sehingga kepekaan sosial mereka perlahan terbentuk. Untuk itu, guru harus peka dengan kondisi lingkungan di mana sekolah berada, juga peka dengan potensi setiap siswa yang ia tangani. Kepekaan guru ini akan menjembatani kebutuhan lingkungan dengan penyaluran potensi siswa dalam koridor kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pengajaran yang aplikatif juga akan mempermudah siswa dalam belajar. Mereka terlibat secara langsung sehingga mendapatkan kesan mendalam dalam diri mereka, juga lebih mengerti mengapa mereka harus mempelajari sebuah obyek studi dalam ilmu sosial. Pembuatan organisasi siswa di kelas yang mengelola sebuah rumah-dhuafa dari hasil shadaqah yang lalu disumbangkan adalah salah satu contohnya.
Hal kedua yang patut diperhatikan adalah membuka jaringan dengan komunitas-komunitas budaya, lingkung-lingkung seni, ruang-ruang inisiatif, dan media massa untuk membuka wawasan bergaul yang kreatif bagi siswa. Bandung sebagai pusat industri kreatif di Indonesia, bahkan di Asia, memiliki ratusan komunitas kreatif yang terbuka bagi siapapun untuk belajar mengembangkan potensi diri. Kondisi ini perlu diperkenalkan kepada siswa semenjak dini sehingga siswa mengetahui bahwa di sekitar mereka begitu banyak ruang yang baik untuk mengembangkan diri dan berbaur bersama kawan-kawan menurut minat dan bakat mereka. Menjalin hubungan dengan komunitas kreatif juga akan memperkaya wawasan guru dan pada gilirannya akan mempermudah prigram-program pendidikan yang dibuat oleh sekolah.
Hal yang tak kalah penting adalah melatih keahlian siswa di bidang teknologi. Tak dapat dipungkiri, teknologi adalah bagian dari dinamika sosial yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan siswa, juga dalam belajar. Bahkan melalui teknologi, bisa jadi mereka akan lebih senang untuk mempelajari ilmu-ilmu sosial. Pembuatan film dengan tema sosial yang dibuat dan dibintangi mereka sendiri akan membuat mereka semakin semangat belajar. Atau praktek pendokumentasian melalui teknologi foto adalah contoh yang lainnya.
Pendidikan sosial yang baik juga tidak dapat dilepaskan dari upaya membangun keberanian mengemukakan pendapat dan keahlian menulis. Keberanian dalam mengemukakan pendapat adalah hal mendasar dalam belajar. Dengan berani maka siswa akan mengeksplorasi lingkungan,obyek pengajaran, dan juga potensi dirinya sendiri secara total. Hal mendasar yang bisa dimulai adalahberani mengemukakan pendapat mereka, baik secara lisan maupun tulisan. Tentu saja keberanian tersebut harus diiringi juga dengan tanggung jawab, dalam arti jika mereka berpendapat maka harus dalam koridor yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu contoh media ekspresi yang dapat dilakukan misalnya melalui praktek pembuatan media ekspresi siswa semacam majalah dinding.
Hal-hal itulah yang kemudian saya laukan di kelas bersama murid-murid saya. Tidak selalu semua hal tersebut saya lakukan sempurna, tapi kami meluangkan banyak sekali waktu bersama dan itu sangat menyenangkan. Saya sangat menghargai waktu yang mereka berikan untuk saya, begitupun saya yakin mereka begitu meghargai waktu yang telah kami luangkan bersama untuk belajar, berbincang, membuat sesuatu bersama-sama.
Pernah saya dan murid-murid membuat sebuah proyek pendokumentasian sejarah Bandung melalui foto dan film dokumenter. Selama satu bulan kami turun ke lapangan untuk riset dan pengamatan. Saking aksyiknya murid-murid saya mengerjakan proyek ini, salah seorang murid, namanya Edo, datang kepada saya secara pribadi dan berkata : “Pak, saya jadi suka sejarah dengan mengerjakan proyek ini…” Proyek kami selesai, dipublikasikan secara luas, dan mendapat tanggapan positif dari berbagai pihak di luar sekolah. Film kami bahkan sempat diputar di sebuah event khusus Bandung yang digelar di sebuah pusat perbelanjaan dan diapresiasi oleh orang banyak. Sangat membanggakan bagi saya. Namun yang selalu membanggakan bagi saya, dan selalu saya rindukan sampai sekarang adalah ucapan polos Edo : “Pak, saya jadi suka sejarah…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar