Pages

Education

Featured Posts Coolbthemes

Selasa, 15 November 2011

Anatomi Kebebalan Bangsa

Ada semacam kebebalan kolektif yang menjangkiti masyarakat kita, mulai dari elit politis, pelaku bisnis, sampai berbagai elemen masyarakat sipil. Semua kritik dan saran yang diajukan percuma. Ini semua tampak pada kasus kunjungan/studi banding anggota DPR ke beberapa negara tanpa alasan yang cukup cerdas dan masuk akal, sampai kebebalan pola berpikir mitis yang digunakan untuk memahami bencana alam sebagai kutukan Tuhan atau hukuman Mbah Petruk.
Seolah kebebalan adalah ciri khas bangsa kita sekarang ini. Semakin hari kita semakin menjadi bangsa yang keras kepala, tidak dalam hal-hal yang berkaitan dengan inovasi, tetapi justru dalam hal-hal yang membuat bangsa kita semakin primitif.
Sumber kebebalan ada dua, yakni kemalasan berpikir radikal-substantif, dan keterlenaan di dalam arus rutinitas kehidupan. Kemalasan berpikir adalah produk dari pendidikan yang cacat paradigma. Sementara keterlenaan di dalam arus rutinitas adalah produk dari konformitas yang berlebih, yang menjadi ciri khas banyak orang Indonesia. Keduanya menjadi sumber kebebalan kita sebagai bangsa. Tanpa upaya membongkar kebebalan ini, kita tidak akan keluar dari lingkaran setan korupsi dan irasionalitas politik.
Anatomi Kebebalan
Seorang filsuf ternama Jerman pada abad ke-20, Martin Heidegger, pernah mengajukan argumen menarik tentang pola berpikir manusia modern. Baginya manusia modern terjebak pada berpikir teknis, dan tidak bisa lagi berpikir secara substantif. Berpikir teknis berarti berpikir untuk mengoperasikan alat. Sementara berpikir substantif berarti berpikir, mengapa alat itu perlu ada pada awalnya, dan apa yang perlu dilakukan untuk membuat alat tersebut tetap relevan, serta tidak menghancurkan.
Berpikir teknis adalah berpikir seperti komputer. Sementara berpikir substantif adalah tindakan khas manusia. Bagi Heidegger jika orang hanya bisa berpikir teknis, maka ia sebenarnya tidaklah berpikir, dan tepat inilah yang dilihatnya pada manusia modern. Gejala manusia modern adalah gejala ketidakberpikiran.
Analisis ini cocok untuk Indonesia. Pendidikan semata berfokus pada pengembangan ketrampilan berpikir teknis. Sementara pola berpikir substantif ditinggalkan. Akibatnya sumber daya manusia Indonesia mirip dengan tukang dan alat, sehingga tidak pernah melakukan inovasi yang berarti. Sama seperti alat dan barang, manusia Indonesia menjadi bebal. Ia hanya berpikir dan bertindak secara mekanis, tanpa kesadaran kritis-substantif yang sebenarnya merupakan kemampuan luhur manusia.
Di sisi lain kebebalan juga lahir dari terputusnya sebuah bangsa dengan ingatan kolektifnya sendiri. Dalam arti ini ingatan kolektif bukanlah sejarah, melainkan penghayatan sebuah bangsa akan masa lalunya yang dibaca dan ditafsirkan untuk kepentingan masa kini. (Halbwachs, 1958) Tanpa ingatan kolektif yang tepat, sebuah bangsa tidak akan pernah bisa belajar dari masa lalunya. Maka bangsa tersebut seolah terkutuk untuk selalu mengulangi kesalahan yang sama berulang kali tanpa henti.
Di Indonesia kita pun terputus dengan ingatan kolektif kita sebagai bangsa. Krisis identitas bangsa menjadi keprihatinan banyak pihak. Nasionalisme dalam bentuk kecintaan serta kebanggaan pada bangsa terkikis waktu dan peristiwa. Bangsa kita tidak punya arah yang jelas, karena ingatan kolektifnya sebagai bangsa pun tidak jelas.
Berbagai kesalahan masa lalu terulang kembali. Beragam konflik memiliki pola yang sama dengan konflik-konflik sebelumnya, yakni ketidakmampun untuk hidup dalam perbedaan. Korupsi yang terjadi sebagai akibat dari lemahnya aparat hukum pun berulang tanpa pernah berubah. Cita-cita para pendiri bangsa lenyap ditelan udara.
Lemahnya pola berpikir substantif-kritis, dikombinasikan dengan lemahnya kesadaran akan ingatan kolektif, membuat bangsa kita tidak memiliki mental mandiri. Kita hanya menjadi pengikut di berbagai bidang. Otonomi individu dianggap sebagai penghinaan pada nilai-nilai komunitas. Buahnya adalah mental konformisme ekstrem, di mana sikap ikut-ikutan, mulai dari kejahatan kecil sampai korupsi, lebih dominan dari kemampuan untuk mempertimbangkan sendiri, apa yang sungguh baik dan buruk untuk dilakukan.
Perpaduan dari semua hal ini akan melahirkan fundamentalisme. Fundamentalisme adalah buah dari ketidakberpikiran, keterputusan dari ingatan kolektif, serta mental konformisme yang berlebih. Fundamentalisme bukan berarti kembali ke dasar (fundamen), tetapi sikap bebal-ngotot pada satu pola hidup tanpa pernah melakukan permenungan kritis atasnya. Politik kita adalah politik fundamentalisme, yakni politik bebal yang kebal atas kritik, saran, ataupun pertanyaan.
Obat Anti Bebal
Sikap bebal adalah suatu kelemahan mendasar. Sikap bebal membuat kita sulit berubah. Sikap bebal membuat kita buta pada kelemahan-kelemahan kita, baik sebagai pribadi, maupun sebagai bangsa. Sikap bebal menghalangi kita mewujudkan visi sejati hidup kita.
Namun sikap bebal tidak akan abadi. Jika dibiarkan kebebalan akan menghancurkan pihak yang memeliharanya. Buah dari kebebalan adalah situasi krisis. Di dalam situasi krisis selalu ada dua kemungkinan, yakni perubahan cara berpikir secara mendasar, atau kehancuran.
Namun bangsa kita tidak perlu menanti krisis untuk berubah. Kebebalan politis dalam bentuk fundamentalisme cara berpikir di berbagai bidang perlu dibongkar. Harapan saya semoga tulisan ini tidak lagi terbentur dengan kebebalan kita yang seolah tuli atas berbagai saran maupun kritik yang membangun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar