Pages

Education

Featured Posts Coolbthemes

Selasa, 03 April 2012

Konser Anthrax: Menyenangkan Sekaligus "Berbahaya"

Indonesia memang tengah jadi pembicaraan di tengah kawula metal dunia. Selepas sebuah konser Oktober tahun lalu, saya bersama beberapa teman sempat berbincang dengan penata suara kumpulan death metal Jerman, Obscura. Martin, begitu ia dipanggil, pernah juga datang bersama Misery Index, pasukan death grind dari Amerika Serikat. Dia bilang penonton di Indonesia terkenal sangat hebat. “Kalian melompat, moshing, dan bernyanyi bersama seperti tak ada hari esok,” katanya.


Kembali ke Anthrax. Pada aspek yang sama, Scott Ian sang gitaris mengemukakan hal tersebut di tengah suguhan nomor “Indians”, seolah memprovokasi penonton malam itu. “Kami terbang 26 jam untuk melihat kalian semua. Saya dengar banyak penonton gila di Indonesia,” kata dia sembari menyeringai lebar.

Scott tak salah dengar. Buktinya, band metal berbondong-bondong mengantri untuk mencicipi panggung di Indonesia akhir-akhir ini: mulai dari Exodus, Obscura, Death Angel, Kataklysm, Children of Bodom, Helloween, hingga Deftones dan Iron Maiden.

Di awal-awal penampilan, tampaknya performa Anthrax berlangsung adem ayem. Dari tujuh nomor awal yang digeber, empat diantaranya adalah lagu baru yang dikutip dari album “Worship Music”. Konser berputar 180 derajat ketika maklumat tarian perang diumumkan oleh sang vokalis, Joey Belladonna. Di lagu “Indians” tersebut, putaran besar massa terbentuk. Situasi di depan panggung pun menjadi berbahaya.

Setelah nomor berbau punk “Got the Time”, penampilan Anthrax terus menuju puncak. Mungkin ini ada hubungannya dengan dibukanya barikade Festival B yang letaknya di belakang—yang ternyata atas permintaan Anthrax sendiri. Setelah lagu ini, seluruh penonton jadi terkonsentrasi di depan. Atmosfer pun makin panas—dan udara semakin tipis.

“State of Euphoria” penonton ini berakibat fatal bagi beberapa orang. Mereka yang kondisi fisiknya tergerus umur mundur teratur dari moshpit. Di tengah tembang “Among the Living” (yang diambil dari album legendaris berjudul sama di tahun 1987) di depan saya terjadi momen mengerikan.

Seorang penonton lelaki tiba-tiba terjatuh di tengah-tengah penonton. Aturan pakem di konser metal seperti ini adalah, penonton lain bahu-membahu menariknya ke belakang, berharap dia segera bangun dan melanjutkan moshing. Namun kali ini ia tetap terkapar.

Para penonton di sekitar tubuh yang tergeletak saling berpandangan dengan mimik horor. Sekitar 10 detik kemudian, kami bergegas mengangkat penonton yang tak sadar tersebut ke bagian depan panggung—dan memanggil tim medis. Belakangan saya ketahui melalui promotor bahwa ternyata orang tersebut dalam keadaan mabuk.

Insiden itu ternyata tak membuat atmosfer mendingin. Konser berubah menyenangkan ketika penonton mulai meminta lagu. Koor massal “Be All, End All” akhirnya direspon oleh Charlie Benante, dkk.

Yang lebih menyenangkan lagi, Anthrax memberikan empat lagu bonus dari susunan lagu yang seharusnya mereka bawakan. “Got the Time”, “Be All, End All”, “Efilnikufesin (N.F.L)” dan “I’m the Man” tak ada di rancangan awal susunan lagu. Apa karena penonton yang hebat dan gila saat itu?

Dari sebuah kicauan dari akun twitternya, gitaris Scott Ian menyatakan terima kasih dan bahwa penonton Jakarta adalah “yang terbising dan tergila tahun ini”. Penjaga ritme kencang Anthrax, Frank Bello, juga  berkicau “terima kasih Jakarta untuk pertunjukan yang memukau—kami akan kembali!” tak berapa lama setelah konser.

Di samping keluhan minor seperti tata suara tak terdengar secara bulat di belakang—terutama melodi-melodi gitar Rob Caggiano, penampilan Anthrax (dan tentunya penonton) malam itu adalah salah satu yang terbaik sejauh ini di tahun 2012.

Dan para metalheads yang katanya seram-seram itu, terlihat berparas sumringah saat keluar dari Pantai Karnaval.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar